Sebuah perayaan kemenangan akan dirayakan segenap warga kota. Setidaknya demikianlah yang aku pahami soal kemenangan dalam pandangan di kerajaan zaman dahulu. Hal itu tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada zaman sekarang di mana banyak pesta diselengarakan ketika seseorang telah menyelesaikan studinya di sebuah universitas, menikahi seorang gadis yang diimpi-impikannya, atau pun ketika seseorang telah mencapai usia 50 tahun. Itu semua merupakan pertempuran bagi orang itu. Dalam studi, seseorang bertempur dengan rasa malas dan tugas yang menumpuk. Dalam pernikahan, seseorang berjuang untuk emndapatkan hati gadis impiannya, meyakinkan dia dan keluarganya, dan mempersiapkan segala hal untuk menikah. Dalam pencapaian usia “emas”, seseorang berjuang untuk hidup sehat, bertahan dalam segala bentuk masalah dan menyelesaikannya, serta mendidik keturunannya demi sebuah generasi yang gemilang. Demikianlah banyaknya pertempuran yang dialami manusia sampai pada saat ini. Saya rasa, semuanya itu setimpal dengan perayaan kemenangan yang dirayakan dengan sebuah pesta.
Gereja Katolik memiliki tradisi kemenangan yang dinamakan pesta Paskah. Pesta di mana Tuhan Yesus Kristus menang melawan dosa dan menebus manusia dari dosa itu sendiri. Pesta Paskah dimulai dengan yang namanya pekan suci dan diawali dengan hari minggu Palma. Hari di mana Tuhan Yesus memasuki kota Yerusalem. Hari di mana Yesus dielu-elukan sebagai seorang raja yang agung.
Pada perayaan minggu Palma terdapat banyak peristiwa yang mengagumkan. Yang pertama adalah peristiwa masuknya Yesus ke kota Yerusalem. Yesus memasuki kota Yerusalem dengan cara yang cukup unik, yaitu dengan menunggang seekor keledai. Terdapat banyak makna terhadap seekor keledai yang ditunggangi Yesus ini. Kenapa Dia harus menunggangi seekor keledai? Kenapa bukan seekor kuda yang jelas lebih kuat dan agung? Apakah ada makna yang tersirat di situ? Rupanya ada alasan tersendiri kenapa Yesus menunggangi seekor keledai dan bukannya seekor kuda. Dalam kitab suci terdapat alasan kenapa Yesus menunggangi seekor keledai, yaitu supaya nyata bahwa kedatangan Yesus ke dunia berhubungan dengan nubuat para nabi terdahulu. Dalam Mat 21:1-11 pada peristiwa Yesus yang dielu-elukan di Yerusalem tepatnya pada ayat yang ke-4 dan 5, terdapat ramalan nabi Zakaria tentang sosok raja yang akan datang itu. Dari sini cukup terlihat bahwa Yesus memiliki korelasi dengan sabda Allah yang disampaikan oleh para nabi. Selain itu, terdapat refleksi lain tentang sosok seekor keledai yang menjadi tunggangan Yesus. Seekor keledai dipandang sebagai binatang yang menjadi pembawa barang-barang berat. Hal ini menjadi gambaran Yesus yang memikul dosa-dosa manusia.
Dalam peristiwa masuknya Yesus ke Yerusalem, orang-orang menyoraki Yesus dengan seruan “Hosanna” dan menyebarkan ranting-ranting pohon dan pakaian di sepanjang jalan yang dilalui Yesus. Makna kata Hosanna sendiri sebenarnya bukan bermakna sebagai sebuah pujian melainkan sebuah ungkapan permohonan untuk meinta diselamatkan. Maka cukup jelas bahwa kedatangan Yesus di sini sebagai bentuk kerinduan warga Yahudi terhadap kesalamatan dan kebebasan dari penjajah pada waktu itu. Sosok Yesus masih dipandang sebagai sosok Mesias secara politik yang membebaskan mereka dari bangsa penjajah dan mengembalikan kejayaan kerajaan Israel yang telah hancur. Prosesi penyebaran ranting-ranting dan pakaian dalam peristiwa ini dapat juga menggambarkan harapan orang-orang Yahudi agar Yesus benar-benar membawa kemenangan bagi mereka. Prosesi ini mirip dengan saat para raja dan pasukannya hendak pergi berperang atau ketika mereka telah kembali dari peperangan.
Dalam minggu Palma bukan hanya peristiwa masuknya Yesus ke Yerusalem tetapi juga peristiwa permulaan sengsara Yesus sehingga terdapat Passio atau pembacaan kisah sengsara Yesus. Bagiku, makna dari pembacaan kisah sengsara ini mau mengingatkan umat bahwa Yesus mencapai kemenangan-Nya dengan jalan menderita dan wafat di kayu salib.
Demikian indahnya makna dari hari minggu Palma. Bukan saja peristiwa kemenangan yang dirayakan di situ tetapi juga peristiwa sengsara yang seakan-akan mengatakan bahwa kemenangan tidak akan tercapai tanpa adanya pengorbanan dan kesengsaraan.